Rabu, 05 Januari 2011

Pelajaran Setan Merah

Setan merah menang lagi. Juara separuh musim sudah diraih, dan sekarang di pole position untuk menjalani yang setengahnya. Tapi bukan disitu masalahnya, kok dengan skuad yang relatif lebih lemah setelah ditinggal pemain kelas dunia seperti CR7 dan Tevez, dan hanya mendatangkan anak muda dengan nama asing seperti obertan, valencia, smalling, setan merah tetap bisa menjaga posisi di empat besar, sekarang malah di peringkat satu, liga premier?


Banyak faktor, namun jelas peran utama keberhasilan ada di seorang Sir Alex. Dulu rasanya nggak kebayang kalau setan merah gak ada cantona, terus robson, ince, bruce, pallister, beckham, nistelrooy, keane dan terakhir duo CR7 dan Tevez. Tapi toh kenyataaannya setan merah tetap saja kinclong. Tahun lalu terlebih lagi, valencia yang diandalkan sebagai pengganti CR7 patah ankle di awal musim, kemudian rooney setelah pildun tidak juga balik performanya, malah gonjang ganjing minta keluar dari skuad. Kaget, lagi-lagi respons penggemar. Tapi Sir Alex dengan tegas mempersilahkan roo apabila tidak melihat masa depannya bersama setan merah. End of saga, rooney menyadari kesalahannya dan sekarang sedang dalam perjalanan mendapatkan permainannya kembali.


Sir Alex, lagi-lagi menunjukkan kepemimpinannya. Tidak hanya mampu menghadapi semua rintangan dan setan merah juara paruh musim, namun juga belum terkalahkan sampai saat ini. Visi, strategi, dan juga keberanian untuk merotasi pemain, termasuk pemain mudanya, membuahkan keberhasilan. Sir Alex sendiri belum yakin bahwa skuad-nya akan tidak terkalahkan, tapi pencapaian paruh musim dengan segala keterbatasan jadi prestasi tersendiri. Sebagai seorang manager, Sir Alex konsisten dengan ketegasannya yang membuat tidak ada pemain setan merah yang berani berbeda pendapat di media. Sebagai manager, Sir Alex tidak pernah mengkritisi pemainnya di media, dan bahkan cenderung selalu membela meski pemain memiliki hari buruk. Sebagai peer, Sir Alex berani mengecam venky’s sebagai pemiliki baru blackburn yang memecat Sam Allardyce. Konsistensi perilaku tersebut yang membuat anak buah dan bahkan manager lawan memiliki respek yang tinggi kepada Sir Alex. Begitu juga seaktu penggemar meminta Sir Alex mencari penyerang baru karena Berba tidak perform, Sir Alex stand by Berba dengan mengatakan Berba butuh waktu. Sekarang terbukti ucapannya benar. Bahan manager yang paling suksespun saat ini yaitu Mou bercita-cita ingin menukangi setan merah selepas Sir Alex pergi. Tidak hanya itu Pep yang mencengangkan prestasinya dua musim lalu dengan barca-pun pernah berfikir untuk ikut menukangi setan merah.


Di dunia lain, kepemimpinan yang mengandung unsur ketegasan, konsistensi, bimbingan, pemberian kesempatan kepada yang muda, perlindungan kepada anak buah serasa barang langka. Banyak pemimpin yang menganggap dengan jabatan sudah cukup untuk mengatakan yang bersangkutan sebagai pemimpin. Ups, jangan salah, kepemimpinan harus diperjuangkan dan diupayakan. Tidak bisa diperoleh overnight. Bangun secara perlahan sehingga tumbuh saling kepercayaan. Kalau om covey bilang kuncinya di dua hal besar, yaitu character and competencies. Character bisa diurai menjadi integritas dan intensi, sedangkan competencies bisa diperoleh melalui kapabilitas dan hasil kerja. So para pemimpin negeri ini, belajarlah dari Sir Alex, gunakanlah kerangka integritas, intensi, kapabilitas dan hasil kerja sebagai sarana untuk mendapatkan kepercayaan. Gutlak-lah..


Minggu, 10 Oktober 2010

Manajemen Talenta

Dalam perkembangan terakhir pengelolaan sumber daya manusia telah banyak digunakan istilah talent management. Apa sebenarnya talent management dan bagaimana perbedaan talent management dengan human resources management yang telah kita kenal sebelumnya?

Cara pandang. Disitu terletak perbedaannya. Apabila human resources management menganggap bahwa manusia sebagai sumber daya (yang dapat terhabiskan), sedangkan talent management justru menganggap manusia sebagai suatu aset yang perlu dikelola agar terus berkembang. Perbedaan cara pandang ini amat mendasar sehingga akan mempengaruhi bagaimana suatu organisasi mengelola manusianya.

Kita mulai diskusi ini dengan memaknai talent. Lynne Morton, seorang thought leader, memberi makna talent yaitu individuals who have the capability to make a siginificant difference to the current and future performance of the organization. Kata kuncinya adalah memiliki kapabilitas untuk meningkatkan kinerja organisasi. Dengan demikian sebuah organisasi perlu mampu mengidentifikasi individu yang sesuai dengan makna tersebut. Apakah seluruh individu memiliki kapabilitas, mungkin saja. Namun yang mampu menggunakan kapabilitasnya untuk meningkatkan kinerja organisasi secara signifikan tentunya tidak seluruhnya. Dengan menggunakan pareto law, kita dapat mengatakan bahwa terdapat sekitar 20 persen dari seluruh individu yang mampu meningkatkan 80 persen kinerja organisasi secara signifikan.

Dave Ulrich, seorang Guru di bidang HR, memaknai talent dengan suatu persamaan yaitu talent = competence x commitment x contribution. Masing-masing faktor merupakan pengali dan bukan merupakan substitusi. Ulrich mempertajam makna talent yang disampaikan oleh Lynne Morton. Seorang individu dapat dikatakan sebagai talent apabila kapabel melaksanakan suatu tugas, mau mengerjakan tugas tersebut dan juga menghasilkan sesuatu dari pelaksanaan tugas tersebut. Hal ini yang sedikit membedakan pemahaman talent oleh Ulrich dengan Lynne.

Di dalam melakukan pengelolaan talenta yang dimilikinya, umumnya organisasi menggunakan prinsip hire, develop and retain the best people. Untuk itu, dengan menggunakan formula Ulrich, organisasi harus memahami kompetensi yang perlu dimiliki oleh organisasi untuk memastikan pelaksanaan tugas dapat dilakukan dengan lancar. Untuk itu organisasi perlu memiliki profil kompetensi dari keseluruhan individu. Berdasarkan profil tersebut, kemudian organisasi dapat memutuskan apakah cukup melakukan pengembangan dari individu yang dimilikinya, atau perlu melakukan rekrutmen (secara permanen atau temporer) agar kebutuhan kompetensi terpenuhi. Di sisi lain, organisasi juga perlu berani mengganti individu yang dinilai kurang kompeten, dengan yang lebih kompeten. Hal terakhir yang perlu dilakukan oleh organisasi adalah memelihara dan mempertahankan individu yang dimiliki agar kebutuhan kompetensi untuk mendukung pelaksanaan tugas terpenuhi.

Problematika pengelolaan talenta tentunya tidak berhenti pada proses di atas saja, tetapi seperti yang dijelaskan dalam formula Ulrich, organisasi perlu memastikan individu ini memiliki komitmen dan memberikan kontrbusi kepada pelaksanaan tugas. Untuk memastikan individu lebih berkomitmen, umumnya hal-hal yang perlu diperhatikan oleh organisasi adalah mewujudkan:


  1. Kejelasan visi organisasi, yang akan memberikan arahan kepada individu mengenai destinasi pelaksanaan tugas;
  2. Kesempatan, baik kesempatan untuk berkembang mau belajar;
  3. Pemberian insentif, yakni pemberian penghargaan yang adil dan kompetitif atas tugas yang telah diselesaikan;
  4. Kesempatan melihat hasil kerja atau dampak dari pelaksanaan tugas yang dilakukan;
  5. Lingkungan kerja yang kondusif baik dari rekan kerja maupun pimpinan;
  6. Saluran komunikasi yang memberikan informasi mengenai apa yang sedang berlangsung dan mengapa; dan
  7. Fleksibilitas untuk menyampaikan dan memilih tugas yang akan dilaksanakan.

Perwujudan hal di atas akan meningkatkan engagement dari talenta yang dimiliki oleh organisasi yang berdampak pada produktivitas individu dan kinerja organisasi secara keseluruhan, baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Hal terakhir dalam formula adalah memastikan kontribusi individu pada organisasi. Seorang individu dapat saja memiliki kompetensi yang cukup, dan memiliki komitmen yang kuat namun kemudian tetap merasa tidak puas dan meninggalkan suatu organisasi karena merasa kebutuhan untuk berkontribusinya tidak terpenuhi. Hal penting yang perlu dilakukan organisasi justru berupaya memahami kebutuhan untuk berkontribusi dan kemudian memberikan kesempatan kepada individu untuk melaksanakan tugas tertentu sehingga dapat berkontribusi kepada organisasi “sesuai dengan harapannya”. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Ulrich dan istrinya Wendy, seorang psikolog terkemuka, terdapat tujuh pertanyaan yang perlu diketahui oleh organisasi yang biasanya mempengaruhi tingkat kontribusi individu, yaitu:

  1. Siapakah saya? Apakah identitas saya sudah sesuai dengan reputasi organisasi?
  2. Kemana arah perjalanan karir saya dan mengapa? Bagaimana organisasi akan membantu individu mencapai tujuan karirnya?
  3. Dengan siapakah saya bekerja? Apakah organisasi membangun lingkungan kerja yang kondusif sehingga seorang individu merasa nyaman?
  4. Berapa banyak saya mempraktekkan disiplin dan spiritual? Bagaimana organisasi menghargai hal-hal seperti kerendahan hati, pemberian penghargaan, ruang untuk melakukan kesalahan, dan lain-lain?
  5. Tantangan seperti apa yang saya inginkan? Bagaimana organisasi membantu individu untuk memperoleh tugas yang menantang, namun mudah dan enjoy untuk dilaksanakan?
  6. Sejauh mana fasilitas yang saya dapatkan? Bagaimana organisasi membantu individu untuk menjaga kesehatan, mendapatkan ruang kerja yang memadai dan memenuhi kebutuhan finansial?
  7. Apa yang menjadi sumber kebahagiaan saya? Bagaimana organisasi membantu individu untuk menikmati pelaksanaan tugas.
Apabila organisasi melalui pimpinan membantu individu untuk menjawab pertanyaan di atas melalui pelaksanaan tugasnya, maka individu tersebut akan merasa terpenuhi dan akan berkontribusi secara optimal. Dengan demikian ternyata dimensi dari pengelolan manusia pada suatu organisasi tidak berhenti pada masalah kompetensi dan komitmen saja, tetapi organisasi juga perlu memberikan “ruang” kepada setiap individu untuk berkontribusi dalam pelaksanaan tugasnya. Dengan demikian hal mendasar yang penting dalam pengelolaan talenta adalah kemampuan organisasi untuk memiliki profil kompetensi dan kemudian memenuhi kebutuhan kompetensi tersebut, memberikan infrastruktur pelaksanaan tugas yang meningkatkan komitmen individu dan yang terakhir adalah membantu individu untuk menjawab kebutuhan untuk berkontribusi.

Jumat, 04 September 2009

Trust, Unsur Penting Efektivitas dan Efisiensi Bekerja

Dalam suatu pelatihan , dijelaskan bahwa suatu organisasi dalam kondisi inefisien sewaktu tidak terdapat trust secara vertikal dan horizontal. Sebaliknya suatu organisasi akan sangat efisien dan efektif sewaktu tingkat kepercayaan dari para pelaku aktivitas amat tinggi. Semula pernyataan ini sepertinya lagi-lagi menjadi sebuah teori. Namun setelah diselami lebih mendalam, hasilnya mencengangkan. Banyak sekali fakta di sekeliling kita yang mendukung pernyataan tersebut. Seorang rekan mengatakan bahwa sebuah konsep yang diajukan bolak-balik direvisi oleh pimpinannya, padahal konsep tersebut harus segera diimplementasikan. Hasilnya kemudian, perbaikan tidak prinsipil dan kemudian waktu sudah sangat mendesak sehingga waktu untuk persiapan implementasi menjadi amat kurang. Rekan saya menyesali waktu persiapan yang amat pendek tersebut karena kemudian malah menyebabkan implementasi konsep di lapangan menjadi berantakan. Dari hasil diskusi, kami menyimpulkan bahwa letak permasalahan terjadi bahwa rekan saya tidak dipercaya oleh pimpinan, sehingga konsep tersebut dibahas secara detail sampai dengan kata-perkata sehingga waktu yang dibutuhkan menjadi sangat lama, yang berakibat fatal pada implementasi di lapangan.

Kepercayaan tidak diperoleh begitu saja, tetapi harus dibangun secara perlahan. Namun kepercayaan tersebut dapat dalam satu malam saja. Konsep sederhana yang disampaikan pada pelatihan yang saya ikuti fondasi dari kepercayaan adalah karakter dan kompetensi. Karakter diwakili oleh unsur integrity, intent, dan unsur kompetensi diwakili oleh capability dan result. Karakter merupakan sebuah unsur yang konstan, dan selalu diperlukan dalam setiap kondisi, sedangkan komeptensi diperlukan tergantung pada situasi dan kondisi yang sedang dihadapi. Pengertian dari integrity lebih banyak direpresentasi oleh kongruen atau tidaknya seseorang dalam keseharian. Konsistensi antara yang diucapkan dengan yang dilakukan. Dalam terminologi yang lebih biasa didengar adalah munafik. Sejalan atau tidak ucapan dan perbuatan. Intent dilandasi sebuah motif, apakah motif seseorang dari melakukan suatu perbuatan akan menentukan sebuah kepercayaan. Sedangkan capability banyak ditentukan oleh kemampuan seseorang. Tingkat kemampuan seseorang untuk melakukan suatu hal akan mempengaruhi tingkat kepercayaan orang lain. Ditambahan dengan resut yang bisa diwakili oleh track record, maka tingkat kepercayaan juga dipengaruhi dari kemampuan dan juga hasil yang sudah dilakukan di masa lalu.


Kembali lagi pada pengalaman rekan saya di atas, terdapat dua hal yang dapat dipelajari. Pertama, rekan saya tersebut perlu meningkatkan integristasnya, memperbaiki motif, menunjukkan kemampuannya dan memberikan hasil dalam tugasnya. Dengan demikian, secara perlahan tingkat kepercayaam tersebut juga akan timbul. Di sisi lain, sang pimpinan dalam menghadapi rekan saya tersebut perlu juga menunjukkan perilaku yang mendukung terciptanya kepercayaan. Misalnya perlu mengatakan secara langsung apa yang diinginkannya sehingga tidak perlu bolak balik melakukan koreksi, karena yang bersangkutan sendiri belum mengetahui apa yang diinginkannya. Memberi penghargaan terhadap upaya yang dilakukan rekan saya dimaksud, mendengarkan apa yang disampaikan oleh rekan saya, menunjukkan sikap bahwa rekan saya tersebut mampu memahami yang diinginkannya, dan lain-lain.

Kepercayaan adalah suatu hubungan dua arah, yang perlu diupayakan oleh kedua pihak. Apabila tidak terdapat upaya perbaikan dari kedua belah pihak, baik dari rekan saya dimaksud, dan juga sang pimpinan, maka selama itulah tingkat kepercayaan diantara keduanya akan rendah. Pada akhirnya organisasi jugalah yang akan merugi, karena hal-hal yang harusnya dapat diselesaikan segera, ternyata kemudian tidak dapat dieksekusi dengan baik karena waktu yang diperlukan menjadi sangat lama, dan kemudian biaya yang dikeluarkan menjadi sia-sia. Disini terlihat bahwa betapa pentingnya suatu tingkat kepercayaan dalam suatu organisasi.

Kembali lagi ke soal sepakbola, ada pelajaran berharga yang dapat diambil dari kepemimpinan Sir Alex yang legendaris. Nama-nama beken seperti Beckham, Nistelrooy, Keane, Ronaldo menjadi tidak berarti baginya ketika kepercayaan Sir Alex luntur. Begitu motif dari mereka diragukan, tanpa ragu Sir Alex kemudian mentransfer mereka ke klub lain meskipun kemampuan mereka dan hasil yang sudah dicapai di Old Trafford begitu luar biasa. Kepemimpinan yang tegas berlandaskan integritas ini kemudian memberikan dampak yang luar biasa kepada suasana kondusif di ruang ganti pemain. Bagi Sir Alex, suasana tim yang kondusif dan saling percaya lebih penting dari pada banyaknya pemain bintang tetapi memiliki motif yang berbeda dengan keseluruhan tim.

Terakhir, ada baiknya kita melihat sekeliling kita. Apakah telah ada suasana trust secara horizintal dan vertikal. Kalau belum, sebaiknya tunda dulu semua kegiatan, bicarakan dengan baik-baik seluruh persoalan yang ada. Bicarakan secara terbuka, sepakati dan konsisten dijalani. Suasana kepercayaan yang tinggi sesama pegawai dan pimpinan akan menghasilkan kinerja yang luar biasa lebih dari yang dibayangkan.

Minggu, 17 Mei 2009

Regenerasi, Urgensi Sebuah Kesinambungan

Sewaktu menyaksikan ManUtd bertarung melawan Arsenal, terlihat sebagian besar pemain profesional yang bermain masih dalam usia belia. Relatif hanya 3 sampai 4 orang yang usianya mendekati atau melewati tigapuluhan. Arsenal lebih menggetarkan lagi karena tidak ada pemainnya yang melewati usia tigapuluh. Dalam kompetisi terbaik di dunia yang tentunya sangat ketat, Sir Alex dan Arsene Wenger berani memainkan pemain-pemain muda mereka dan tetap mampu bersaing di level atas kompetisi.

Membaca kolom di harian ternama di negeri ini mengenai capres dan cawapres, penulisnya menyampaikan istilah L4 yaitu “lu lagi lu lagi”. Dari tiga pasangan capres dan cawapres, hanya dua yang merupakan muka baru yaitu Prabowo dan Boediono. Terlihat bahwa bangsa ini terlambat dalam melakukan regenerasi kepemimpinan. Di negeri asal demokrasi sana, apabila sudah pernah menjadi presiden tidak lagi mencalonkan diri jadi presiden lagi. Bakan calon yang pernah bertarung dan kalah, biasanya juga tidak akan dicalonkan kembali. Bahwa kemudian capres dan cawapres saat ini adalah muka-muka lama, ini sudah mengindikasikan bahwa ada masalah regenerasi kepemimpinan di Indonesia.

Dalam salah satu email yang di-forwardkan teman kepada saya, ternyata Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia melakukan gebrakan dengan mengangkat Firmanzah menjadi Dekan pada usia 33 tahun. Tradisi senioritas sudah ditinggalkan, dan mulai beralih kepada kompetensi dan potensi seseorang. Dunia akademis yang biasanya erat dengan masalah senioritas sudah berubah.

Di majalah Forbes terdapat satu artikel yang menarik mengenai America’s youngest CEO. Matthew McCauley, 33, saat ini adalah CEO dari Gymboree, perusahaan pakaian anak-anak. Michael Rubin, 33, merupakan CEO dari GSI Commerce yang memiliki jaringan toko yang memasarkan adidas, burberry, sports authority, dll. Di dalam negeri juga demikian, Sandiaga Uno, 39, merupakan CEO dari Recapital dan Erick Thohir, 40, merupakan CEO dari PT Mahaka. Kesemuanya telah menjadi orang nomor saru di perusahaannya dalam usia yang relatif masih muda.

Seberapa penting sebenarnya regenerasi? Hal ini penting bagi kesinambungan kinerja suatu perusahaan atau lembaga. Dunia berubah sedemikian cepatnya, sehingga perusahaan atau lembaga membutuhkan orang-orang yang mampu mengikuti perubahan tersebut. Agar mampu mengikuti perubahan tersebut, kita tidak bisa lagi berbicara mengenai senioritas, tetapi lebih mengedepankan masalah kompetensi dan potensi seseorang agar pelaksanaan tugas lebih lancar. Orang yang senior, bukan berarti tidak diperlukan, tapi sepanjang yang bersangkutan mampu untuk mengikuti perkembangan dunia usaha, maka yang bersangkutan pantas menduduki posisi orang nomor satu di perusahaan atau lembaganya.

Perusahaan atau lembaga harus sejak dini mampu mendeteksi potensi-potensi yang dimilikinya, sehingga program persiapan dapat dilaksanakan. Perusahaan-perusahan yang tidak mampu melakukan hal ini dan menyesuaikan diri, sudah dapat dipastikan akan menjadi yang terbelakang dalam dunia kompetisi. Dave Ulrich dan Norm Smallwood, dalam bukunya Why The Bottom Line Isn’t juga mendapatkan fakta setelah melakukan survey pada fortune 500 companies bahwa yang membuat perbedaan antara perusahaan yang sukses dan tidak adalah terletak pada intangible asset, yaitu kemampuan sumber daya manusianya.

Saat ini, setiap perusahaan dan lembaga perlu melakukan instrospeksi diri untuk melihat potensi-potensi yang dimilikinya. Potensi tersebut bisa meningkat atau meredup tergantung bagaimana penangangan perusahaan dan lembaga terhadap mereka. Mungkin sebagian orang belum menyadari bahwa tingkat kompetisi untuk mendapatkan talenta di pasar tenaga kerja, bukan lagi hanya semacam retorika. Kondisi tersebut sudah sampai di Indonesia dan di sekeliling kita. Remunerasi yang katanya merupakan senjata ampuh, ternyata tidak lagi menjadi faktor utama untuk retensi pegawai. Apabila demikian setiap lembaga dan perusahaan sebaiknya mulai mempersiapkan generasi baru dalam kepemimpinan mereka.

Selasa, 21 April 2009

Katanya Pemimpin, Tapi...

Tulisan ini sih berawal dari obrolan pagi seperti biasa di rombongan cinere. Mas Uzur mempermasalahkan inkonsistensi ukuran kepemimpinan yang digunakan dan kemudian hasilnya dipertanyakan. Pak Madesu meng-echo dan Pak Wigun manggut-manggut dan senyum-senyum (jangan-jangan inget kejadian yang semalam yaa..).

Saya sependapat dengan para pakar dari CMC (Cinere Motor Club), bahwa harus ada kesepahaman ukuran kepemimpinan sehingga semua memiliki persepsi yang sama mengenai bagaimana seorang pemimpin berperilaku. Tidak untuk menyaingi Stephen R. Covey (bener ya Ki) dengan 4 roles of leadernya, dan juga menyaingi DDI dengan kamus kompetensinya, maka pemahaman saya mengenai bagaimana seorang pemimpin harusnya berperilaku adalah sebagai berikut:

  1. Seorang pemimpin harus kompeten;
  2. Seorang pemimpin harus memiliki visi;
  3. Seorang pemimpin harus punya prinsip;
  4. Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan manajerial; dan
  5. Seorang pemimpin harus berani mengambil keputusan.

Kenapa seorang pemimpin harus kompeten, karena tanpa kompetensi dia tidak akan mampu memberikan pengarahan dan men-challenge suatu konsep secara ilmiah (bukan hanya berdasarkan power saja bo'..). Kalau pada prakteknya konsep selalu disusun tanpa arahan dan kemudian setelah jadi diubah sesuai salero bagindo, wes pasti penyusun konsep akan, kata mas Toto, mulgob alias mulia tapi goblok...:). Pemimpin dituntut tidak hanya mengerti, atau memahami suatu pengetahuan, tapi levelnya juga jauh di atas itu yaitu mempraktekkan dan mengajarkan kepada orang lain. istilah kerennya, jangan level basic practisionerlah.


Pemimpin harus memiliki visi, ini syarat mutlak karena tanpa visi dia nggak akan mampu menjelaskan kemana dia akan membawa anak buahnya pergi. Ibaratnya seorang anak diajak jalan-jalan sama Bapaknya, anaknya bertanya "Pak, kita mau kemana..?". Bapakanya bingung dan menjawab, "kita jalan-jalan menikmati pemandangan saja nak...". Pertama-tama si anak mungkin senang-senang saja. Tapi lama kelamaan si anak akan kelelahan dan tidak mampu meneruskan perjalanan lagi. Berbeda dengan seorang pemimpin yang memiliki visi, "kita akan ke Bandung dan harus sampai disana dalam waktu 4 jam". Kemudian pemimpin tersebut berdiskusi dengan si anak buah, bagaimana cara sampai ke Bandung dalam waktu 4 jama tersebut, dan kemudian menyepakati jalur mana yang akan ditempuh. Si anak buah senang karena ide-idenya untuk menempuh waktu ke Bandung dalam 4 jam diterima dan merasakan bahwa perjalanan tersebut adalah perjalanan bersama.


Prinsip, atau bahasa Inggrisnya Values, perlu dimiliki oleh seorang pemimpin dalam rangka memastikan visi yang ditetapkan dapat tercapai. Kalau tadi sudah ditetapkan ke Bandung dalam 4 jam, tetapi sang pemimpin nggak konsisten, sebentar-sebentar mampir untuk belanja atau ngopi, tujuan 4 jam tersebut nggak akan tercapai. Prinsip menjadi benteng dari ketidakkonsistenan, karena prinsip tersebut sudah embedded dalam diri sang pemimpin dan diperlihatkan dalam keseharian hidup. Prinsip bukan merupakan hal yang selalu diomongkan, tetapi sesuatu yang dipraktekkan. Jangan sampai seorang pemimpin mengatakan bahwa dia sangat mengutamakan efisiensi, kemudian dalam prakteknya banyak belanja dan sering ngopi. Prinsip atau values menjadi pilar utama karakter individu.


Pemimpin perlu memiliki kemampuan manajerial, atau at least memiliki orang yang dipercaya untuk memastikan target terselesaikan. Tapi "manakala" seorang pemimpin tidak memiliki kemampuan manajerial untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, tetapi dia juga tidak memiliki orang yang dipercaya untuk menyelesaikan tugas tersebut, selesailah dunia. Sama aja mau ke Bandung tapi dia nggak bisa nyetir, tapi nggak ada yang dipercaya bisa nyetir. Lah nggak akan pernah berangkat. Diam di tempat, tidak bergerak. Wess pasti nggak karuan jadinya.


Kemampuan mengambil keputusan amat krusial dalam melaksanakan tugas sebagai pemimpin. Keputusan untuk pergi ke Bandung. Keputusan untuk mengajak anak buah yang mana ke Bandung. Keputusan untuk menyerahkan tugas menyetir ke Bandung ke anak buah yang mana. Keputusan untuk mengambil jalur mana. Keputusan untuk mengambil jalur alternatif sewaktu ada kemacetan di jalan. Semua membutuhkan keputusan. Kalau setiap keputusan ditunda dan diambil kalau sudah waktunya mepet, lha tujuan sampai ke Bandungnya dalam 4 jam kagak bakalan tercapai cing... mimpi kaleeee.


Ini semua murni dari pemikiran pribadi yang boleh saja berbeda dengan yang lain. Tapi kembali lagi ke awal tulisan yang penting adalah adanya kesepahaman bagaimana seharusnya seorang pemimpin tersebut perperilaku. Jangan sampai katanya seorang pemimpin, tapi nggak punya ilmunya. Katanya seorang pemimpin, tapi nggak punya visi. Katanya seorang pemimpin, tapi nggak punya prinsip. Katanya seorang pemimpin tapi nggak bisa mengatur. Katanya pemimpin, tapi nggak bisa mutus. Don't call yourself a leader my friend... cape d.



Senin, 20 April 2009

Berbeda, Forced Distribution dan Forced Ranking

Di dalam praktek penilaian kinerja, masih banyak yang mempersepsikan bahwa forced distribution dan forced ranking adalah hal yang sama. Pada kenyataannya hal tersebut adalah berbeda. Berikut adalah sari pemahaman yang diambil dari Dick Grote dalam bukunya Forced Ranking; Making Performance Management Work.

Kedua metode, forced distribution dan forced ranking, digunakan dalam suatu kondisi dimana proses penilaian tidak berjalan dengan obyektif, sehingga terjadi inflasi penilaian dimana hampir seluruh pegawai mendapatkan nilai yang tinggi. Dalam kondisi demikian, organisasi perlu menerapkan “alat” yang dapat digunakan untuk melakukan kategorisasi kinerja pegawai mengingat nilai kinerja dapat digunakan sebagai dasar proses pengelolaan pegawai lainnya.


Forced Distribusi atau terjemahan bebasnya distribusi paksa adalah suatu distribusi yang disepakati oleh organisasi untuk diterapkan pada suatu populasi, dalam hal ini untuk penilaian kinerja, untuk tujuan menyusun kategorisasi kinerja pegawai. Dengan menggunakan distribusi yang telah ditetapkan sebelumnya, penilai akan memiliki pedoman kuantitas pegawai yang akan mendapatkan nilai tertentu dibandingkan dengan jumlah pegawai dalam populasi.


Distribusi paksa adalah merupakan penilaian yang berdasarkan perbandingan absolut (absolut comparisons) antara standar yang ditetapkan dengan hasil kinerja pegawai. Dengan demikian penilai akan melakukan penilaian hasil kinerja pegawai dengan kriteria yang sudah dijadikan standar. Contoh dari distribusi yang umumnya digunakan adalah:
Distinguished 5%
Superior 20%
Good Solid Performer 50%
Needs Improvement 20%
Unsatisfactory 5%


Terdapat dua permasalahan utama yang dikemukakan oleh Grote dalam penerapan distribusi ini, pertama, distribusi yang diterapkan kurang memiliki fleksibilitas. Dalam suatu kasus dalam suatu populasi yang jumlah pegawainya 100, maka penilai tidak akan dapat memberikan nilai distinguished lebih dari 5 pegawai. Dalam penerapan distribusi di atas, yang merupakan mirroring dari bell curve, permasalahan yang terjadi adalah penilaian manusia tidak selamanya selalu sama dengan bell curve. Pertama, karena kurva ini hanya dapat diterapkan kepada populasi dengan jumlah tertentu, dan yang kedua agar implementasinnya valid maka distribusinya harus dilakukan secara acak. Padahal propulasi pegawai tidak dapat diacak misalnya penerimaan, promosi atau pengembangan pegawai dilakukan setiap kandidat yang ke 14, tetapi dilakukan secara masing-masing individu.


Untuk mengimplementasikan konsep forced distribution, Grote menyarankan adanya fleksibilitas dalam penilaian kinerja, sehingga distribusi yang ditawarkan tidak diterapkan secara rigid tetapi melalui fleksibilitas tertentu, yaitu:
Distinguished 5% maximum
Superior 20 - 30%
Good Solid Performer 50 - 60%
Needs Improvement 10 - 15%
Unsatisfactory 2 - 5%


Mengapa angka 2% disarankan, ini adalah untuk menjaga tingkat turnover pegawai dalam suatu rate tertentu setiap tahunnya.


Forced ranking adalah konsep penilaian yang menggunakan proses meranking dari seluruh pegawai dalam populasi. Berbeda dengan forced distribution yang absolut, forced ranking merupakan penilaian relatif antara satu pegawai dengan pegawai yang lainnya (person to person evaluation). Mekanisme yang dilakukan adalah melakukan perbandingan terhadap seluruh pegawai di suatu unit kerja untuk diperoleh ranking pegawai. Kemudian ranking tersebut dikelompokkan sesuai dengan skim yang ditetapkan misalnya Top 20%, Vital 70% dan Bottom 10%, sehingga apabila total jumlah pegawai adalah 100, maka akan diperoleh 20 pegawai yang dikategorikan sebagai Top, 70 orang yang dikategorikan sebagai pegawai vital dan 10 pegawai yang dikategorikan sebagai bottom.


Kedua metode sama baiknya sepanjang diterapkan secara konsisten dan filosofinya dipahami oleh pengguna. Implementasi salah satu metode ini tetap akan membawa resistensi yang dapat disebabkan oleh banyak hal. Satu hal yang paling terpenting untuk mendukung governance pelaksanaan adalah pengguna, atau pimpinan satuan kerja. Sistem dan metode hanya sebuah alat, implementasinya dikembalikan lagi kepada pengguna.

Minggu, 19 April 2009

The 4 Roles of Leadership

The smooth current of business is history. Today, turbulence reigns in what Stephen R. Covey terms the "permanent white water world." Good management skills are still very important for the day to day, but navigating white water successfully must begin with effective leadership. The 4 Roles of Lead-ership delivers the tools, processes, and context to lead successfully—even in a time of turbulent change.


Leading in a White Water World. Business as usual isn't usual. Today, mergers and acquisitions, downsizing and constant restructuring grab headlines on business pages. The internet and new media are changing customer expectations. Costs and global markets fluctuate from hour to hour.


Stephen R. Covey terms this new business climate "permanent white water," and if you can't keep up, you're going to go under. Yesterday's methods just don't work in the white water world. Managers traditionally manage in the system and focus on doing things right. Leaders, however—particularly real leaders—work on the system and focus on doing the right things. The managerial role is still essential and it performs a vital function, but leadership must come first to make managing more effective.


The 4 Roles of Leadership help you identify and develop the four critical abilities of real leaders and learn how to implement those roles practically and with long-term results—without taking your eye off your day-to-day management needs.The 4 Roles of Leadership is an intensive, three-day workshop for leaders at all levels who want to significantly improve their strategic think-ing, long-term vision, and positive influence on others.


It guides you to understand the change, choices, and principles that affect your decisions and equip you with real tools. These tools give you common sense applications you can use in your teams and work groups to effect measurable improvements.


Pathfinding: Creating the BlueprintGreat leadership begins with clarity of thought and purpose.


Stephen R. Covey says that all things are created twice—that the "mental creation precedes the physical creation." You wouldn't build a home with-out a blueprint. Similarly, it's folly to rush into action without understanding your purpose. The Pathfinding role helps you create a blue-print of action and ensure that your plans have integrity— before you act. Pathfinding is the ability to blaze the path that links what you're passionate about delivering to what your customers are passionate about getting.


These four roles will enable you to lead effectively and achieve meaningful and lasting results.To do this you need to define your mission and values, and create a vision and strategy that link the two passions.The 4 Roles of Leadership helps you answer the following Pathfinding questions:

  1. Who is important to us, and what matters most to them?
  2. What is our purpose, and what matters most to us?
  3. How will we act toward each other?
  4. Where are we going?
  5. What will we do to get there?

By answering these simple questions, you begin to explore your mission, values, vision, strategy, and stakeholders' needs. Once you have answered these questions, the workshop helps you apply the information.

The workshop includes the insightful Pathfinding Process and its three guiding principles— three immutable laws which you must follow for success in pathfinding. The process helps you create an organizational mission statement that won't be viewed as "framed whatever," but instead has real buy-in across all levels of the organization.


The process helps you unearth root causes and motivations that help you prescribe direction more accurately. And the process gives you the keys to develop a succinct strategy statement and a "Monday Morning Plan" of action when you return to the office.

Aligning: Creating a Technically Elegant System of Work


If pathfinding identifies a path, aligning paves it. Organizations are aligned to get the results they get. Think about that. If you are not getting the results you want, it is due to a misalignment somewhere, and no pushing, pulling, demanding, or insisting will change a misalignment. Therefore, as a leader, you must work to change your systems, processes, and structure to align them with the desired results you identified through pathfinding.

In aligning, you understand the importance of a balanced ecosystem and how to create it, beginning with answering these key questions:


  1. Do we use the right processes?
  2. Are people in the right structure?
  3. Do we have the right people?
  4. Do we get the right information?
  5. Do we make decisions in the right way?
  6. Do people receive the right rewards?
We help you turn your answers to these questions into a real action plan, using the aligning tool of the Six Rights and its two guiding principles. This unique tool helps you understand how the parts affect the whole and how your organization is currently aligned—you learn how to preempt problems and streamline your strategic initiatives using the Six Rights. The workshop gives you permanent reference materials, so you can implement the Six Rights process each time you undertake a new initiative, ensuring that your organization is aligned for success.


Empowering: Releasing the Talent, Energy, and Contribution of People"Empower-ment"— it's an overused term but underutilized in practice.


Empowering isn't abandoning people, letting them "figure it out" on their own. Nor is it allowing individuals minute freedoms while controlling other aspects. True empowerment yields high trust, productive communication between individuals and teams, and innovative results where each member of the team feels welcome to bring his or her genius to the table.

The Empowering role helps you answer the following questions:
  1. How do you cultivate an environment where people can do their best and are committed?
  2. What is the nature of the work being done?
  3. How much responsibility and authority should people have?
  4. Who does what? How? With what resources and account-ability? For what reasons?
You learn to create the conditions that foster and release the creativity, talent, ability, and potential that exist in people. In turn, they are better able to function in the aligned organization and follow the path you have helped to create.First, you self-assess your current leadership style. This insightful exercise helps you understand where and why you control others, if you are typically supervisory, or if you abandon others.Because the people you work with are all different, you also learn how to use Levels of Empowerment. These levels help you work with others flexibly, adapting your style to the risk of the situation and the skills and character of the person you are working with.At the workshop, you receive convenient, easy-to-use software that walks you throughthe process of creating a Win-Win Agreement, the communication tool to help you develop mutually satisfying work relationships that deliver results. You and those you work with are to develop a clear plan of action to help build accountability between people, teams, departments, even vendors and distributors, and make follow-up more measurable and relevant.

Modeling: Building Trust with Others-the Heart of Effective Leadership
The 4 Roles of Leadership does not just teach you what a leader does, but who a leader is. You will be able to answer the following questions:

  1. Who would follow me?
  2. Do I take responsibility?
  3. Do I "walk my talk?"
  4. Am I trustworthy?

You learn the essential balance between character and competence-an individual of high abilities will never be a true leader if his or her character is questionable. The processes and tools in The 4 Roles of Leadership enables you to get the results your organization needs while you model principles of effectiveness.



At the workshop, you receive a confidential Profile Feedback Report and Action Planning Guide. Before the course, your direct reports, peers, and supervisor will review your leadership skills in a thorough leadership survey. At the course, you receive a detailed, personalized report on these surveys that equips you with the information you need to refine your leadership skills.

Leadership for Navigating Change, Delivering Results, and Creating the Future


The 4 Roles of Leadership workshop isn't magic. It isn't flavor-of-the-month training, either. It is a real, proven path to effective leadership that takes commitment and discipline.The processes you learn can be repeatedly applied in your organization—each time you plan a new strategy or implement a new initiative. When practiced consistently, The 4 Roles of Leadership yields measurable organizational and personal success and helps transform good managers into true leaders.