Sewaktu menyaksikan ManUtd bertarung melawan Arsenal, terlihat sebagian besar pemain profesional yang bermain masih dalam usia belia. Relatif hanya 3 sampai 4 orang yang usianya mendekati atau melewati tigapuluhan. Arsenal lebih menggetarkan lagi karena tidak ada pemainnya yang melewati usia tigapuluh. Dalam kompetisi terbaik di dunia yang tentunya sangat ketat, Sir Alex dan Arsene Wenger berani memainkan pemain-pemain muda mereka dan tetap mampu bersaing di level atas kompetisi.
Membaca kolom di harian ternama di negeri ini mengenai capres dan cawapres, penulisnya menyampaikan istilah L4 yaitu “lu lagi lu lagi”. Dari tiga pasangan capres dan cawapres, hanya dua yang merupakan muka baru yaitu Prabowo dan Boediono. Terlihat bahwa bangsa ini terlambat dalam melakukan regenerasi kepemimpinan. Di negeri asal demokrasi sana, apabila sudah pernah menjadi presiden tidak lagi mencalonkan diri jadi presiden lagi. Bakan calon yang pernah bertarung dan kalah, biasanya juga tidak akan dicalonkan kembali. Bahwa kemudian capres dan cawapres saat ini adalah muka-muka lama, ini sudah mengindikasikan bahwa ada masalah regenerasi kepemimpinan di Indonesia.
Dalam salah satu email yang di-forwardkan teman kepada saya, ternyata Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia melakukan gebrakan dengan mengangkat Firmanzah menjadi Dekan pada usia 33 tahun. Tradisi senioritas sudah ditinggalkan, dan mulai beralih kepada kompetensi dan potensi seseorang. Dunia akademis yang biasanya erat dengan masalah senioritas sudah berubah.
Di majalah Forbes terdapat satu artikel yang menarik mengenai America’s youngest CEO. Matthew McCauley, 33, saat ini adalah CEO dari Gymboree, perusahaan pakaian anak-anak. Michael Rubin, 33, merupakan CEO dari GSI Commerce yang memiliki jaringan toko yang memasarkan adidas, burberry, sports authority, dll. Di dalam negeri juga demikian, Sandiaga Uno, 39, merupakan CEO dari Recapital dan Erick Thohir, 40, merupakan CEO dari PT Mahaka. Kesemuanya telah menjadi orang nomor saru di perusahaannya dalam usia yang relatif masih muda.
Seberapa penting sebenarnya regenerasi? Hal ini penting bagi kesinambungan kinerja suatu perusahaan atau lembaga. Dunia berubah sedemikian cepatnya, sehingga perusahaan atau lembaga membutuhkan orang-orang yang mampu mengikuti perubahan tersebut. Agar mampu mengikuti perubahan tersebut, kita tidak bisa lagi berbicara mengenai senioritas, tetapi lebih mengedepankan masalah kompetensi dan potensi seseorang agar pelaksanaan tugas lebih lancar. Orang yang senior, bukan berarti tidak diperlukan, tapi sepanjang yang bersangkutan mampu untuk mengikuti perkembangan dunia usaha, maka yang bersangkutan pantas menduduki posisi orang nomor satu di perusahaan atau lembaganya.
Perusahaan atau lembaga harus sejak dini mampu mendeteksi potensi-potensi yang dimilikinya, sehingga program persiapan dapat dilaksanakan. Perusahaan-perusahan yang tidak mampu melakukan hal ini dan menyesuaikan diri, sudah dapat dipastikan akan menjadi yang terbelakang dalam dunia kompetisi. Dave Ulrich dan Norm Smallwood, dalam bukunya Why The Bottom Line Isn’t juga mendapatkan fakta setelah melakukan survey pada fortune 500 companies bahwa yang membuat perbedaan antara perusahaan yang sukses dan tidak adalah terletak pada intangible asset, yaitu kemampuan sumber daya manusianya.
Saat ini, setiap perusahaan dan lembaga perlu melakukan instrospeksi diri untuk melihat potensi-potensi yang dimilikinya. Potensi tersebut bisa meningkat atau meredup tergantung bagaimana penangangan perusahaan dan lembaga terhadap mereka. Mungkin sebagian orang belum menyadari bahwa tingkat kompetisi untuk mendapatkan talenta di pasar tenaga kerja, bukan lagi hanya semacam retorika. Kondisi tersebut sudah sampai di Indonesia dan di sekeliling kita. Remunerasi yang katanya merupakan senjata ampuh, ternyata tidak lagi menjadi faktor utama untuk retensi pegawai. Apabila demikian setiap lembaga dan perusahaan sebaiknya mulai mempersiapkan generasi baru dalam kepemimpinan mereka.
Membaca kolom di harian ternama di negeri ini mengenai capres dan cawapres, penulisnya menyampaikan istilah L4 yaitu “lu lagi lu lagi”. Dari tiga pasangan capres dan cawapres, hanya dua yang merupakan muka baru yaitu Prabowo dan Boediono. Terlihat bahwa bangsa ini terlambat dalam melakukan regenerasi kepemimpinan. Di negeri asal demokrasi sana, apabila sudah pernah menjadi presiden tidak lagi mencalonkan diri jadi presiden lagi. Bakan calon yang pernah bertarung dan kalah, biasanya juga tidak akan dicalonkan kembali. Bahwa kemudian capres dan cawapres saat ini adalah muka-muka lama, ini sudah mengindikasikan bahwa ada masalah regenerasi kepemimpinan di Indonesia.
Dalam salah satu email yang di-forwardkan teman kepada saya, ternyata Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia melakukan gebrakan dengan mengangkat Firmanzah menjadi Dekan pada usia 33 tahun. Tradisi senioritas sudah ditinggalkan, dan mulai beralih kepada kompetensi dan potensi seseorang. Dunia akademis yang biasanya erat dengan masalah senioritas sudah berubah.
Di majalah Forbes terdapat satu artikel yang menarik mengenai America’s youngest CEO. Matthew McCauley, 33, saat ini adalah CEO dari Gymboree, perusahaan pakaian anak-anak. Michael Rubin, 33, merupakan CEO dari GSI Commerce yang memiliki jaringan toko yang memasarkan adidas, burberry, sports authority, dll. Di dalam negeri juga demikian, Sandiaga Uno, 39, merupakan CEO dari Recapital dan Erick Thohir, 40, merupakan CEO dari PT Mahaka. Kesemuanya telah menjadi orang nomor saru di perusahaannya dalam usia yang relatif masih muda.
Seberapa penting sebenarnya regenerasi? Hal ini penting bagi kesinambungan kinerja suatu perusahaan atau lembaga. Dunia berubah sedemikian cepatnya, sehingga perusahaan atau lembaga membutuhkan orang-orang yang mampu mengikuti perubahan tersebut. Agar mampu mengikuti perubahan tersebut, kita tidak bisa lagi berbicara mengenai senioritas, tetapi lebih mengedepankan masalah kompetensi dan potensi seseorang agar pelaksanaan tugas lebih lancar. Orang yang senior, bukan berarti tidak diperlukan, tapi sepanjang yang bersangkutan mampu untuk mengikuti perkembangan dunia usaha, maka yang bersangkutan pantas menduduki posisi orang nomor satu di perusahaan atau lembaganya.
Perusahaan atau lembaga harus sejak dini mampu mendeteksi potensi-potensi yang dimilikinya, sehingga program persiapan dapat dilaksanakan. Perusahaan-perusahan yang tidak mampu melakukan hal ini dan menyesuaikan diri, sudah dapat dipastikan akan menjadi yang terbelakang dalam dunia kompetisi. Dave Ulrich dan Norm Smallwood, dalam bukunya Why The Bottom Line Isn’t juga mendapatkan fakta setelah melakukan survey pada fortune 500 companies bahwa yang membuat perbedaan antara perusahaan yang sukses dan tidak adalah terletak pada intangible asset, yaitu kemampuan sumber daya manusianya.
Saat ini, setiap perusahaan dan lembaga perlu melakukan instrospeksi diri untuk melihat potensi-potensi yang dimilikinya. Potensi tersebut bisa meningkat atau meredup tergantung bagaimana penangangan perusahaan dan lembaga terhadap mereka. Mungkin sebagian orang belum menyadari bahwa tingkat kompetisi untuk mendapatkan talenta di pasar tenaga kerja, bukan lagi hanya semacam retorika. Kondisi tersebut sudah sampai di Indonesia dan di sekeliling kita. Remunerasi yang katanya merupakan senjata ampuh, ternyata tidak lagi menjadi faktor utama untuk retensi pegawai. Apabila demikian setiap lembaga dan perusahaan sebaiknya mulai mempersiapkan generasi baru dalam kepemimpinan mereka.
1 komentar:
Menjadi tua sudah pasti, menjadi dewasa sebuah pilihan. Pilihan disini mengandung makna ada upaya, usaha yang secara sadar dan terprogram dilakukan. Rasanya semua orang mengetahui bahwa dalam sebuah persaingan atau seleksi maka pemenangnya atau yang harus dipilih adalah yang "the best". Namun saat mengalami kenyataan, banyak orang tidak berani " face the reality". Pegawai baru walaupun bagus diberikan kondite biasa saja karena masih baru, anak muda yang sangat kompeten dan potensiil tidak dipromosikan karena masih banyak kesempatan. Orang takut melawan tradisi karena tidak mau di cap tidak populer. (SBG)
Posting Komentar